Sejarah Bank
Indonesia
Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan
internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah berkembang
menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada
saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di
negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang
mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan
De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening
pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal
dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah
Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB).
Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan
suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB
Wet 1922.
Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia
Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda
mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche
Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan
bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank
Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar
(KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB
sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus
bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai
bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka
sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi
Republik Indonesia.
Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah
perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan
internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut.
Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai
andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan
Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang
dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam
bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas
wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara.
sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan
tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong
munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa.
Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong
kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa
memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal
lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda.
Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of
England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank
sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa
Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus
bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis
menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian
bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di
Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk
penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya
di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan
VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah
menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening
merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC
telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di
nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa
pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh
ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia
Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya
perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat
kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda.
Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie)
dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout,
Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi
mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan
beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia
Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada
saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak
didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun
demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan
Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826.
Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim
disebut oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan
berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda
Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat
Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian
pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda
No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama
juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai
sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya.
Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31
Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi
keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk
Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank
diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut,
DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB
terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini,
DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang
mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi
kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu
tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922
ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13
November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari
oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah
15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada
pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode
DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain
itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur
pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan
oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB
terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris,
bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain:
Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri,
Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan
Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus
berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok
Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia
Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia
menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB,
Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke
Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan
Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara
Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada
bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan
pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara
Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura
untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di
Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih
oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui
Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah
perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko
yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion
money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga
sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan
invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di
Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak
tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden,
yang sebagian berasal dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera
serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat
lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia
Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan
hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945
telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII
pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan
nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan
ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda
kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah
Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan
pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).
Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan
menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu
Ginko. Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di
wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus
berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada
Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia,
dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian
melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi
perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI
sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat
menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik
Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang
memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian
dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De
Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada
tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB
tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah
mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi
perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai
bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada
tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank
sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat
perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada
peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu,
pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan
Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut
berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam
penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar
memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk
waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan
Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah
sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische
Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata
Uang 1951.
Sejarah Bank
Indonesia
Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan
internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah berkembang
menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada
saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di
negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang
mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan
De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening
pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal
dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah
Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB).
Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan
suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB
Wet 1922.
Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia
Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda
mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche
Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan
bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank
Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar
(KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB
sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus
bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai
bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka
sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi
Republik Indonesia.
Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah
perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional
yang digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu
telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam
meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam
maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai
standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas
wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara.
sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453),
penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian
diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut
telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa.
Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong
kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa
memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal
lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda.
Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of
England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank
sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa
Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus
bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis
menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian
bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di
Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk
penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya
di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan
VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah
menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening
merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC
telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di
nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa
pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh
ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur.
Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang
melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan
bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat
itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan
diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout,
Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi
mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan
beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda.
Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan
pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama
kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya
lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan
tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa
kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut
memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank
berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan
berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard
Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28
tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari
1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan
akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C.
de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya.
Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31
Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi
keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk
Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank
diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut,
DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB
terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini,
DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang
mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi
kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu
tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922
ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13
November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari
oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah
15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada
pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode
DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain
itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur
pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan
oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB
terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris,
bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain:
Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri,
Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan
Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus
berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok
Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia
Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia
menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB,
Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke
Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan
Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara
Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada
bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan
pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara
Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura
untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di
Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih
oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui
Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah
perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko
yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion
money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga
sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan
invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di
Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak
tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden,
yang sebagian berasal dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera
serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat
lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia
Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan
hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945
telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal
23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama
Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan
ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda
kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah
Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan
pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).
Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan
menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu
Ginko. Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di
wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus
berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada
Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia,
dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian
melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi
perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI
sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat
menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik
Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang
memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai
bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan
keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan
kepada De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena
pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali
ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan
DJB tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah
mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi
perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai
bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia
pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank
sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat
perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada
peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu,
pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan
Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut
berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam
penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar
memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk
waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan
Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah
sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische
Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata
Uang 1951.